Kontroversi Petilasan Angling Dharma Bojonegoro

Siapa yang tak tahu sosok Angling Dharma? Dia adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Apalagi sejak film Angling Dharma ditayangkan di salah satu televisi swasta, masyarakat luas menjadi lebih kenal dia sebagai sosok raja di kerajaan Mlowopati.
Kontroversi Petilasan Angling Dharma Bojonegoro
Kontroversi Petilasan Angling Dharma Bojonegoro

Salah satu keistimewaannya adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabarata.
Di Desa Wotan Ngare, Kecamatan Kalitidu, jaraknya sekityar 21 km arah barat kota Bojonegoro ternyata ada petilasan pria yang digambarkan sangat tampan dan perkasa ini. Sebenarnya, petilasan ini hanya berupa tumpukan batu bata di bawah pakon watu. Jenis tanahnya seperti bekas pemukiman.
Petilasan Angling Dharma menurut masyarakat sekitar tempat ini merupakan gapuro, di lokasi tersebut terdapat tanah embat yang selalu basah. Konon, tempat tersebut adalah kolam pemandian, tempat Setyowati bertemu Prabu Angling Dharma yang menjelma menjadi burung Mliwis Putih.
Ke arah timur dari pakon watu terdapat dataran yang agak tinggi. Konon merupakan pendopo perumahan yang menghadap ke utara.

Meski demikian hingga kini masih banyak yang meragukan tentang jejak Angling Dharma di Bojonegoro.

Terbaru, dua sumur kuno ditemukan secara tak sengaja saat pembuatan embung di sekitar Situs Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, Jawa Timur. Situs tersebut diyakini sebagai petilasan Prabu Angling Dharma, Raja Malawapati juga. Namun berdasar pengamatan beberapa ahli, sumur kuno itu merupakan peninggalan zaman Majapahit akhir.

Pasalnya, di sekitar sumur yang berdiameter 1 meter itu dikelilingi oleh batu bata merah yang digunakan untuk dinding sumur berbentuk agak melingkar dengan ukuran 20-15 X 17 X 7 cm. “Data fisik ciri-cirinya (batu bata-red) masuk masa Majapahit akhir, karena lebih halus dan berhias,” ujar Hary Nugroho Ketua Museum 13 Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.

Menurut Hary, selain bentuk batu batanya yang lebih halus, beberapa juga ditemukan tembikar berhuruf arab sehingga makin menguatkan dugaan itu peninggalan Majapahit akhir. Sebab jaman Majapahit akhir islam telah masuk dan mewarnai kehidupan sosial. “Disekitar juga ditemukan bekas tembikar dan keramik jaman Dinasti Ming,” lanjutnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, sumur kuno yang diperkirakan bagian dari pemukiman lama peninggalan zaman Majapahit di area Situs Wotanngare Kalitidu Bojonegoro itu pada titik koordinat S. 06*56’394″ E. 111*46’044″. Lokasi situs, berada LK100 meter di sebelah barat dari situs pemukiman yang pernah digali 1 tahun lalu bersama Tim Balai Arkeologi Jogjakarta.

Hary menambahkan, jenis batu merah yang ditemukan itu hampir sama dengan penemuan sebelumnya di Desa Jelu, Kecamatan Gayam, Bojonegoro. Bata yang ada di Desa Jelu itu diduga merupakan bekas bangunan candi pintu gapura. “Sama dengan di desa jelu, ada tembikar dan huruf arab. Jadi islam sudah masuk,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Hary mengatakan jika dikaitkan dengan dugaan sebelumnya bahwa situs tersebut merupakan petilasan Angling Dharma sangat jauh masanya. Sebab menurut beberapa sumber Angling Dharma sendiri masuk pada masa Kediri yaitu sekitar abad 10-11 Masehi. Sedangkan pada Masa Majapahit sekitar abad 13 Masehi.

Seperti diketahui, sebelumnya di sekitar situs Wotanngare ditemukan benda-benda peninggalan arkeologi dalam ekskavasi atau penggalian terhadap situs Wotanngare. Salah satunya peninggalan Artefak, fragmen grabah, pecahan kramik asing, bata dan mata uang yang ditemukan dengan kedalaman sekitar 60-80 cm dari permukaan tanah.

Ada empat petak yang digali dengan menggunakan survei arkeologi di permukaan tanah horisontal dan vertikal, diyakini masih banyak peninggalan kuno di daerah sekitar situs. Namun ayang hasil temuan benda-benda peninggalan arkeologi itu hingga kini belum mendapat perhatian khusus dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro.

Sejarah Bojonegoro
Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa Timur, masyarakatnya percaya bahwa bekas kerajaan Angling Dharmo (Malawapati) saat ini merupakan wilayah yang yang membentang mulai Bojonegoro (Rajekwesi) sampai sebagian Lamongan.

Sepertinya untuk Bojonegoro, Angling Dharma dianggap tokoh yang eksis dan turut andil dalam sejarah Bojonegoro. Ini dibuktikan dengan diabadikannya beberapa hal yang terkait dengan tokoh yang satu ini. Nama Angling Dharma diabadikan menjadi salah satu ruangan dalam pendapa kabupaten Bojonegoro. Nama kerajaan (Malawapati), istri (Setyowati) dan patihnya (Batik Madrim) diabadikan menjadi nama jalan. Bahkan belibis putih, yang diyakini sebagai penjelmaan Angling Dharma, diabadikan menjadi nama objek wisata yaitu Taman Meliwis Putih.

Terlepas versi mana yang benar, jejak tokoh ini begitu terkenal Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jati Gede, terdapat situs yang namanya Curug Mas, dimana salah satunya terdapat makam Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklanglarang, penyebar agama Islam dari Kesultanan Mataram dan makam pengikutnya yang bernama Angling Dharma.

Di sebuah desa di Kediri, yaitu desa Banyakan ada sebuah nama yang dikenal sebagai Petilasan Angling Dharmo. Disamping itu, kisah Angling Dharma merupakan salah satu lakon yang sering dipentaskan dalam pagelaran seni Ketoprak di Jawa Timur.

Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang membedakan warna kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru. Sedangkan Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI ketika runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah. Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten Bojonegoro mulai terbentuk.

Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ tetap dimiliki sampai sekarang.

Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak.

Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I awal abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada tahun 1568.

Pangeran Benawa, putra Sultan Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu untuk melawan Senopati yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro kembali bergeser menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai utara Pulau Jawa, sehingga merugikan Mataram. Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.

Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.

Previous
Next Post »